Halaman

Sabtu, 28 Desember 2013

Makanlah yang Halal lagi Baik

Penjelasan Surat Al-Baqarah: 168 tentang Makan yang Halal lagi Baik
menurut Tafsir Muyassar


Bismillaah . .

“Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa  yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan adalah musuh nyata bagimu.” (Quran Surat Al-Baqarah: 168)

Penjelasan dari ayat di atas menurut Kitab Tafsir Muyassar adalah sebagai berikut:
 “Hai sekalian manusia (Red: berlaku untuk seluruh manusia, bukan hanya agama tertentu), makanlah rezeki dari Allah yang Dia keluarkan dari bumi untuk kalian. Akan tetapi, makanlah dengan cara yang halal, bukan dengan cara yang haram. Janganlah kalian memakan rezeki dengan cara yang diharamkan oleh Allah, seperti dengan cara merampas, merampok, mencuri/korupsi, melakukan praktik riba, menerima suap, atau cara-cara lain yang dilarang oleh syari’at.

Janganlah kalian mendekati sesuatu yang kotor dan menjijikkan, seperti bangkai, daging babi, dan apa yang telah diperintahkan oleh Allah dan RasulNya untuk kalian hindari. Artinya, carilah rezeki dengan cara yang baik dan halal.  Sebab, memakan sesuatu sebatas untuk meneruskan hidup itu merupakan sutu kewajiban.

Berhati-hatilah dan jangan sampai kalian menempuh jalan-jalan setan, yaitu dengan mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Dan hendaklah kalian selalu berpegang terhadap apa yang telah disyariatkan olehNya, karena setan adalah musuh yang tidak menyuruh kecuali kepada kejahatan, tidak melarang kecuali dari kebaikan, tidak menuntun kecuali kepada yang hina, dan tidak mengancam kecuali pada yang diberi hidayah. Dan yang pasti, permusuhan mereka terhadap kalian itu telah jelas dan nyata. Demikian halnya tipu daya, kelicikanm dan makar mereka terhadap kalian pun sudah sangat jelas.”

Demikian tadi Penjelasan Surat Al-Baqarah: 168 tentang Makan yang Halal lagi Baik menurut Tafsir Muyassar Jilid I, ‘Aidhil Qarni (‘Aidh al-Qarni), Hal. 127-128, Qisthi Press, 2008

Maree maree . . Semoga bermanfaat

Yayah
Depok, 29 Desember 2013

Untuk Indonesia yang lebih baik

Jumat, 08 November 2013

Shalat Sunnah Dzuhur: 4, 6, atau 8 rakaat?

Shalat Sunnah Dzuhur: 4, 6, atau 8 rakaat? 



Ada beberapa pendapat tentang shalat sunnah Dzuhur, tentang jumlah rakaatnya, bahwa shalat sunnah dzuhur itu dikerjakan 4 rakaat (2 sebelum dan 2 sesudah), 6 rakaat (4 sebelum dan 2 sesudah), atau 8 rakaat (4 sebelum dan 4 sesudah). Berikut ini landasan haditsnya: 

Riwayat yang menyatakan 4 rakaat: 
1. Dari Ibnu Umarr, ia mengatakan, 'Yang aku ingat dari Rasulullah SAW (shalat sunnah rawatib) sebanyak sepuluh rakaat: 2 rakaat sebum Dzuhur, 2 rakaat sesudahnya, 2 rakaat sesudah Maghrib di rumah beliau, 2 rakaat sesudah Isya' di rumah beliau, dan 2 rakaat sebelum Shubuh.' (Hadits Riwayat Bukhari) 

2. Dari Mughirah bin Sulaiman, ia mengatakan, 'Aku mendengar Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW tidak meninggalkan 2 rakaat sebelum Dzuhur, 2 sesudahnya, 2 sesudah Maghrib! 2 rakaat sesudah Isya', dan 2 rakaat sebelum Shubuh.' (Hadits Riwayat Ahmad) 

Riwayat yang menyatakan enam rakaat: 

1. Dari Abdullah bin Syaqiq, ia mengatakan, 'Aku bertanya. Kepada Aisyah mengenai shalat Rasulullah SAW. Aisyah berkata bahwa Beliau mengerjakan 4 rakaat sebelum Dzuhur dan 2 rakaat sesudahnya.' (Hadits Riwayat Ahmad) . .

2. Dari Umar Habibah binti Abu Sufyan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, 'Siapa mengerjakan shalat (sunnah) malam dan siang hari sebanyak 12 rakaat, maka Allah akan membangun untuknya sebuah rumah di surga: 4 rakaat sebelum Dzuhur, 2 rakaat sesudahnya, 2 rakaat sesudah Maghrib, 2 rakaat sesudah Isya', dan 2 rakaat sebelum Fajar (Shubuh).' (Hadits Riwayat Tirmidzi) . .

Keutamaan shalat empat rakaat sebelum Dzuhur:

1. Dari Abu Ayyub al-Anshary, bahwasanya dia mengerjakan shalat 4 raka'at sebelum Dzuhur saat dia ditanya, apakah engkau selalu mengerjakan shalat sunnah ini? Dia menjawab, 'Aku melihat Rasulullah SAW mengerjakannya, dan ketika aku bertanya, beliau bersabda, 'Saat itu adalah saat pintu-pintu langit dibuka. Oleh karena itu aku ingin kebaikanku dinaikkan (ke langit) pada saat itu.''  (Hadits Riwayat Ahmad)

2. Dari Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkan empat rakaat sebelum Dzuhur dan dua rakaat sebelum Fahar dalam keadaan apapun. (Hadits Riwayat Ahmad dan Bukhari). Dari Aisyah, bahwa Rasulullah SAW mengerjakan shalat empat rakaat sebelum Dzuhur dengan memperlama waktu berdiri ketika mengerjakannya, dan beliau ruku' serta sujud dengan sebaik-baiknya.

Menurut Kitab ini, tidak ada kontradiksi antara hadits yang bersumber dari Ibnu Umar yang menjelaskan bahwa Rasululllah SAW pernah mengerjakan shalat dua rakaat sebelum Dzuhur, dengan hadits-hadits lain yang menegaskan bahwa Beliau pernah mengerjakannya empat rakaat. Dalam kitab Fath al-Bariy, Al-Haidz Ibnu Hajar berkata bahwa yang lebih utama adalah mengaitkan maksud hadits-hadits tersebut pada dua keadaan tersebut. Dengan demikian, kadang Rasulullah SAW mengerjakannya dua rakaat dan kadang empat rakaat. Ada yang berpendapat bahwa maksudnya adalah bahwa Beliau mengerjakan hanya dua rakaat ketika di masjid, sedangkan ketika di rumah beliau mengerjakannya empat rakaat dan ketika tiba di masjid Beliau mengerjakannya dua rakaat lagi. Dengan demikian Ibnu Umar melihat shalat yang Beliau kerjakan di masjid sementara Aisyah mengetahui keduanya, baik shalat yang Beliau kerjakan di rumah maupun yang beliau kerjakan di masjid. Pendapat pertama didukunga hadits Aisyah yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW mengerjakan shalat empat rakaat sebelum Dzuhur di rumah beliau, lalu beliau keluar menuju masjid. 

Abu Ja'far ath-Thabary mengatakan bahwa empat rakaat itu sering Rasulullah SAW kerjakan sedangkan yang dua rakaat jarang Beliau lakukan. 
Jika seseorang melakukan shalat empat rakaat baik sebelum Dzuhur ataupun sesudahnya, maka sebaiknya salam pada setiap dua rakaat. Meskipun, dia tetap diperbolehkan mengerjakan empat rakaat sekaligus dengan sekali salam. 

'Shalat Sunnah yang dikerjakan pada malam hari dan siang hari dua dua.' (Hadits Riwayat Abu Daud) 

Kalau ada yang jumlah rakaatnya beda, gak perlu cakar-cakaran. Biasa saja. Oke sip! . .

Maree maree . .


Sumber: Kitab Fikih Sunnah Sayyid Sabiq Jilid 1 Halaman 320-323, CP Cakrawala Publishing, 2008)

Yayah
Depok, 9 November 2013
Untuk Indonesia yang lebih baik

Tanggung Jawab Menafkahi Istri, Kalau Suami Meninngal, Diatur dengan Baik oleh Quran

Tanggung Jawab Menafkahi Istri, Kalau Suami Meninngal, Diatur dengan Baik oleh Quran


'Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruj pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.' (Quran Surat Al-Baqarrah: 240) . .

Penjelasan ayat di atas menurut Tafsir Muyassar Jilid 1:

'Sebelum seorang suami meninggal dunia, hendaklah ia mewasiatkan untuk istrinya sejumlah harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup satu tahun penuh sepeninggalnya. Karena, ketika seseorang meninggal, istrinya tidak boleh keluar dari tempat tinggalnya selama satu tahun tersebut. Dahulu, masa setahun ini adalah masa 'iddah bagi wanita yang ditinggal oleh suaminya, kemudian ketatapan ini dihaous dan diganti menjjadi empat bulan sepuluh hari.

Perhatikanlah, betapa Allah melindungi hak-hakk dan menentukan batasan-batasan dengan sangat bijaksana. Apabila seorang istri keluar dari rumah suaminya yang meninggal dunia setelah habis masa 'iddah-nya maka tidak ada dosa bagi wali untuk memberi izin kepadanya untuk berhias, mempercantik diri, dan menggunakan minyak wangi sesuai dengan ketentuan yang dibolehkan syariat dengan maksud agar ada yang melamarnya lagi. Yang demikian itu, karena Dia Maha Perkasa dan berhak memerintah, Maha Bijaksana dan bersikap adil.

Di antara salah satu wujud keperkasaanNya adalah bahwa Allah menurunkan perintah dan larangan-larangan. Sedangkan di antara bukti akan hikmahNya adalah bahwa Allah menetapkan hhukum sesuai dengan kebutuhan dan kondisi.'

Demikianlah penjelasan ayat di atas. Ini hanya satu ayat, dan tentunya memerlukan penjelasan dari hadits-hadits Nabi jika terjadi kondisi-kondisi tertentu, untuk dijadikan rujukan. Mengapa? Karena dalam kehidupan sehari-hari ada berbagai peristiwa yang tidak sama persis dengan peristiwa-peristiwa pada zaman Nabi. 

Peristiwa-peristiwa lain itu misalnya: Bagaimana kalau sang istri bekerja di kantor atau berdagang atau lainnya? Apakah boleh bekerja? Bagaimana kalau suaminya tidak punya harta banyak? Bagaimana kalau, bagaimana kalau, dan bagaimana kalau?

Nha, kalau kamu mau lebih pinter dari aku, sila baca buku-buku fiqih dan pergi mengaji fiqih kepada guru fiqih yang pintar dan sila buka-buka internetnya. Kalau sudah, sila berbagi ilmunya kepada saya. Saya bukan orang pintar, hehehe . . Oke? . . 


Yang pasti, yang membuat saya kagum dengan ayat ini, saya melihat bahwa masalah ekonomi, nafkah keluarga, ternyata menduduki posisi sangat penting, salah satu tanggung jawab suami yang diatur Allah sedemikian detail. Dan, tentunya, baru kali ini tahu perintah seperti itu. Luar biasa! 

Subhaanallah walhamdulillaah wa laa ilaaha illaalloohu Allahu Akbar . .

Maree maree . . 

Yayah
Depok, 9 November 2013
Untuk Indonesia yang lebih baik



Sabtu, 06 Juli 2013

SESUNGGUHNYA JIKA ENGKAU MENINGGALKAN AHLI WARISMU DALAM KEADAAN KAYA ITU LEBIH BAIK


SESUNGGUHNYA JIKA ENGKAU MENINGGALKAN AHLI WARISMU DALAM KEADAAN KAYA ITU LEBIH BAIK 

Bismillaah . . 

Suatu hari aku membuat update status facebook dengan mengutip hadits yang akan saya sampaikan di bawah ini sebagai berikut: “Sesungguhnya jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, itu lebih baik daripada kau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada orang lain.” Seketika seorang teman lama dari SMA yang punya 6 anak memberi komentar: “Anak adalah amanah.” Saya tidak tahu apakah dia merasa berat menanggung beban itu. Tetapi memang pada suatu reuni saya pernah protes, sambil pukul punggungnya yang kurus itu pelan, sekedar tanda akrab karena pernah sekelas: “Hayo KB. Kasihan istrimu disuruh hamil-beranak terus.” Jawab beliau: “Iya. Aku juga udah berusaha, tapi jadi terus.” Aku memang tukang protes pada halaqah yang seolah ‘mewajibkan’ anggota-anggotanya untuk beranak banyak, yang saya tidak tahu apakah mereka menawarkan solusi untuk memiliki anak banyak dengan mudah dan sukses. 

Tapi yang namanya tukang protes dan orang luar, saya sih tidak tahu banyak apakah mereka yang seperti itu bahagia dengan pilihan itu atau terpaksa dan sebagainya.
Walaupun saya ini tukang protes, tapi saya ini baik kok. Jangan bilang-bilang ya!

Saya senang memberi motivasi positif kepada orang, antara lain supaya berfikir positif tentang perlunya kaya untuk memudahkan ibadah. Dan yang sudah ditakdirkan tidak kaya juga tetap bisa beribadah, asalkan tidak berpendapat bahwa kaya itu tidak penting. Kita harus mengubah paradigma masyarakat kebanyakan yang berfikir bahwa kaya itu susah masuk surga dan sebagainya. Kaya, jika digunakan secara benar, akan mengantarkan kita ke surga. Saya serahkan kepada Allah, semoga hidupku bermanfaat.

Nah, kali ini saya akan berbagi tentang hadits, yang menekankan pentingnya niat, niat bersedekah karena Allah, dan tentang berapa sebaiknya besarnya shadaqah dikeluarkan. Hadits ini bercerita tentang shahabat Nabi SAW yang kaya raya yang ingin menyedekahkan semua hartanya tetapi oleh Rasulullah disarankan untuk memberi peninggalan harta kepada anak dan keluarganya. Hadits ini menjadi rujukan besarnya sedekah yang musti dikeluarkan, yaitu 1/3, untuk mendapat tiket surga. Silakan pula cek Alquran Surat Al-Furqan: 67:

'Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar.’
Alquran Surat Al-Furqan 75-76: ‘Mereka itu akan diberi balasan dengan tempat yang tinggi (dalam surga) atas kesabaran mereka, dan di sana mereka akan disambut dengan penghormatan dan salam. Mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman.’

Lebih lengkapnya sila baca AlQuran Surat Al-Furqan ayat 63-76 ke sini, nanti kalau dah jago bikin link aku perbaiki deh: http://ladyscornersuriyahyayahmanisz.blogspot.com/2012/04/orang-orang-yang-dijanjikan-surga-yang.html). Rasanya pengin aku masuk surga juga. 

Kita lanjut belajar haditsnya dulu ya: 

"Dari Abu Ishak, yakni Sa'ad bin Abu Waqqash, Malik bin Uhaib bin Abdul Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luai al-Quraisy az-Zuhri r.a, yaitu salah satu dari sepuluh orang yang diberi kesaksian akan masuk surga, dia berkata: "Rasulullah SAW datang menjenguk pada Haji Wada' karena sakit yang menimpaku semakin parah, lalu aku berkata: 
"Yaa Rasulullah, sesungguhnya sakitku ini telah mencapai kondisi yang Engkau lihat, sedangkan aku seorang yang berharta dan tiada yang mewarisi hartaku selain seorang putri. Apakah dibenarkan jika aku bershadaqah dengan dua pertiga hartaku?" 

Beliau SAW menjawab, "Tidak."

Lalu aku bertanya lagi, "Separoh hartaku, yaa Rasulullah?"

Beliau bersabda: "Tidak."

Aku bertanya lagi: "Sepertiga, bagaimana, yaa Rasulullah?"

Beliau lalu bersabda: "Ya, sepertiga (boleh) dan itu sudah banyak. Sesungguhnya jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, itu lebih baik daripada kau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada orang lain. Sesungguhnya tiada nafkah yang kau berikan dengan niat mendapatkan keridlaan Allooh melainkan kau pasti akan diberi pahalanya sekalipun sesuatu yang kau berikan untuk makan istrimu."

Abu Ishak meneruskan uraiannya: "Aku berkata lagi: "Apakah aku ditinggalkan - di Makkah - setelah sahabat-sahabatku itu pulang?"

Beliau menjawab: "Kau tidak akan ditinggalkan. Jika kau melakukan amalan dengan niat mencari Wajah Allah, akan bertambah derajat dan keluhuranmu. Barangkali kau ditinggalkan sekalipun nantinya akan ada beberapa kaum yang dapat memperoleh manfaat dari hartamu itu dan akan ada kaum lain (kaum kafir) yang merugi/mendapat bahaya dengan sebab kau masih hidup - (menurut riwayat Abu Ishak: ia hidup sampai dibebaskannya Irak dan lain-lainnya, lalu diangkat sebagai gubernur dan menjalankan keadilan-pentj)

Yaa Allah, sempurnakanlah pahala untuk sahabat-sahabatku dalam hijrah mereka. Janganlah Engkau palingkan mereka ke belakang (murtad). Tetapi, kasihan Sa'd bin Khaulah." Rasulullah SAW merasa sangat kasihan kepadanya, sebab ia meninggal di Makkah." (Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
Sumber: Terjemahan kitab Riyadhus Shalihin, Pustaka As-Sunnah Cetakan ke-2 Desember 2010 halaman 38-39) 

Tambahan: Sepuluh orang shahabat yang masuk surga tanpa hisab sebagaimana disebut di awal hadits di atas adalah sebagai berikut:

Sepuluh sahabat Rasulullah yang dijamin Rasulullah masuk surga: “Abu Bakar di surga, ‘Umar di surga, ‘Utsman di surga, ‘Ali di surga, Thalhah di surga, Az Zubair di surga, Sa’d di surga, Sa’id di surga, Abdurrahman bin ‘Auf di surga, Abu Ubaidah bin Al Jarrah di surga.” (Hadits Riwayat Tirmidzi)

Allahumma shalli 'alaa Muhammad wa 'alaa aali Muhammad.

Maree maree . . Yang mau share langsung saja, tak perlu minta izin. Semoga bermanfaat. Aamiin . .

Yayah
Depok, 7 Juli 2013/28 Sya'ban 1433H 
Untuk Indonesia yang lebih baik

Jumat, 05 Juli 2013

KHILAFAH vs DEMOKRASI

KHILAFAH vs DEMOKRASI
July 5, 2013

@HizbuttahrirID: RT @beKhilafah: Umat islam itu satu | tapi #Demokrasi telah memecahnya | masihkah berharap? tak lama lagi #demokrasimati @HizbuttahrirID

@YayahManisz: @HizbuttahrirID @beKhilafah Demokrasi itu konsep. Bagaimana sebuah konsep akan mati? . .

@beKhilafah: @YayahManisz konsep itu tidak lagi diapakai dan diterapkan maka akan mati (hilang) dengan sendirinya...

@YayahManisz: @beKhilafah Dia hanya tiarap saja, konsep tak pernah mati. Suatu saat muncul lagi jika ada orang yang membicarakan atau menerapkanya . .

@beKhilafah: @YayahManisz harus dipastikan mati/hilang:) sebab sudah ada penggantinya yaitu Khilafah yang akan memimpin dunia. Wallahu 'alam

@YayahManisz: @beKhilafah Kalau ga keberatan, coba kamu terangkan
1) bagaimana proses pemilihan pemimpin khilafah . .
2) Apakah di sluruh dunia ada hanya 1 khilafah / per wilayah? Jika per wilayah, apakah masih ada pemimpin khilafah pusat dunia?
3) Bagaimana jika khilafah daerah atau pusat ternyata melenceng, gunakan kekuasaannya untuk kepentingan hedonis dan pribadi?
4) Bagaimana kalau suatu pemimpin khilafah main mata dengan penganut demokrasi berduit dan bersenjata?
5) bila penjelasanmu tak masuk akan atau tak beda dengan sistem yang ada sekarang, apakah kamu akan stop promosi khilafah . .
6) . . & bekerja keras menciptakan kebaikan bersama dengan sistem yang ada?
7) seorang 'ustadzah' HT, teman kantor lama, kalau ngajarin aku itu super aneh karena ilmunya yang sangat dangkal
8) Waktu aku kerja freelance interpreter, dia bilang gajiku dolar itu haram karena aku kerja untuk perusahaan AS
9) Dia juga bilang bahwa nafkah itu tanggung jawab suami. Istri tak perlu kerja (makud dalam hati gue: sial bener hidupnya perempuan dengan hukum Islam HT ya, gak dihargai. Lagian pula, Khadijah istri Nabi itu kan pengusaha)
10) Masih menurut dia, jika istri bekerja itu tidak ada arti apa2, tidak bernilai ibadah karena itu bukan tanggung ajwabnya
11) Dia juga bilang kartu kredit itu haram karena akadnya sudah menentukan bunga sekian persen
12) Faktanya, suatu ketika suaminya kena PHK dan dia yg nyari duit. Dia rajin minta kerjaan karena duitnya enak, dolar kala itu
13) Dia juga kalau beli alat2 elektronik di COLUMBIA yg bunganya segambreng
14) Sementara kartu kredit kalau dibayar langsung lunas malah gak berbunga sepeserpun
15) Maksud gue: jangan sampai orang2 tereak khilafah hanya untuk nutupi ketidakmampuan mereka berperan di sistem yg ada sekarang
16) Atau lebih parah lagi tak tahu banyak ttg apa khilafah itu. Aku terbuka, mudah2an kamu tidak emosi ketika diskusi sama aku
17) silakan ditanggapi . .

@beKhilafah: @YayahManisz
1) pemilihannya itu hanya ada 2 cara yaitu dgn bai'at: 1. Bai'at in'iqad, 2. Bai'at taat | adapun syarat khalifah ada 7.
2) khilafah itu adalah kepemimpinan umum kaum muslim untuk seluruh dunia | adapun wilayah dipimpin oleh Wali semacam Gubernur.
3) ada yang mengontrol aktifitas mereka diantaranya: mahkamah madzhalim atau partai politik serta kontrol sosial di masyarakat.
4) Apabila para penguasa melanggar hukum syara' jelas mereka harus di hukum sesuai tindak kesalahan yang dilakukan.
5) khilafah merupakan kewajiban yang harus diterapkan | ketiadaan khilafah merupakan ummul jaraim (pangkal segala kemaksiatan)
6) Sumber segala kebaikan hanyalah ada pada sisi Allah | manusia hanya bisa berusaha menjalankan apa yg tlah Allah perintahkan.
7) pertanyaannya cukup banyak juga ya:) InsyaAllah saya tanggapi meskipun tidak spesifik karena sifatnya terbatas | sila disimak:)
8) point 7: mohon maaf perlu dipastikan apakah betul beliau aktifis HT? Apa konklusi bahwa beliau adalah 'ustadzah' HT?
@YayahManisz: beKhilafah Sampai sekarang & masih undang2 saya untuk hadir di seminar2 perempuan khilafah HT. Kalau mau identitas lengkapnya, lewat DM
9) Mengenai gaji itu adalah aqad karyawan dengan pimpinannya | jadi boleh2 saja apapun bentuk gaji/upahnya itu sah.
10) betul tugas suami adalah menafkahi keluarganya serta menjaga kehormatan keluarga'y | istri bekerja harus atas izin suami.
11) betul jika apa yg dilakukan istri tidak mendapat izin serta Ridho Suami | semua hanya tinggal disepakati saja dgn suami. 10: betul jika apa yg dilakukan istri tidak mendapat izin serta Ridho Suami | semua hanya tinggal disepakati saja dgn suami.
12) betul jika apa yg dilakukan istri tidak mendapat izin serta Ridho Suami | semua hanya tinggal disepakati saja dgn suami.
13) Pada saat itu memang Haram karena aqadnya | tapi saat ini bisa diperbaiki dengan aqad yang Syar'I | InsyaAllah boleh
14) Itu manusiawi karena tuntutan kebutuhan hidup | namun perlu dipastikan mengenai aqad yang digunakan agar nanti tidak ganjil
15) Hukum asal mula benda adalah mubah kecuali ada dalil yg mngharamkannya | kondisi saat ini memang sulit terhindar dari riba.
16) Setahu admin | tetap terkena sebab menjadi bagian dari anggota kartu tersebut | sila di cek kembali aqadnya | Wallahu 'alam
17) Sistem yang ada saat ini memang sesungguhnya tdk layak | karena banyak kemaslahatan yang terjadi | maka harus ditinggalkan.
18) pemahaman seseorang itu memang terbatas | maka wajar ketika belum terpuaskan | berdiskusi itu dengan hujah | bkn dg emosi:)
19) Itu tanggapannya mudah2an sedikit mencerahkan | sebab apa yg kita lakukan hanyalah mncari Ridho Allah #Berkah dunia&akhirat.

July 6, 2013

@YayahManisz Via blog:
Untuk memudahkan komunikasi bolak-balik dan kapasitas tulisan yang lebih panjang, aku rangkum semua lewat blog. Silakan ditanggapi lewat twitter atau komen di blog, pilih yang antum merasa nyaman, dan semuanya akan saya rangkum lagi ke update blog saya berikutnya, menambhakan yang sudah ada sebelumnya.
Contoh-contoh yang aku paparkan tentang ‘ustadzah’ HT kemarin itu saya pakai untuk menyampaikan bahwa penguasaan ilmu agama oleh teman-teman HT, bahkan sekaliber ‘ustadzah’-pun masih terlalu sederhana, yang mana hal itu mugkin berimbas ke pemahaman ‘doktrin’ harusnya khilafah itu diiterapkan. Itu menurut pandangan saya. 

Setelah membaca jawaban-jawaban antum, pertanyaan saya selanjtutnya adalah:

1) Apakah ba’iat / apa isi bai’at itu? Apakah sama dengan sumpah jabatan?
2) Bagaimana ba’iat itu dilakukan? Bunyinya seperti apa?
3) Siapa yang berhak/berkewajiban membai’at? Satu orang atau lebih?
4) Siapa yang memberi pembai’at wewenang untukk membai’at?
5) Siapa yang memilih khilafah tertinggi? Bagaimana calon pemimpin khilafah itu diajukan?
6) Siapakah yang memilih gubernur Indonesia, gubernur Yaman, gubernur Pakistan, gubernur Inggris, dsb?

Salaam . .

Minggu, 23 Juni 2013

Puasa Setelah Lewat Pertengahan Sya’ban itu Secara Umum Dilarang

Puasa Setelah Lewat Pertengahan Sya’ban itu Secara Umum Dilarang


Puasa setelah lewat pertengahan Sya’ban itu secara umum dilarang. Coba kita baca kutipan-kutipan hadits berikut ini, maree maree . .

1243. Dari Abu Hurairah ra., dari nabi SAW, beliau besabda: ‘Janganlah seseorang di antara kalian mendahului Ramadhan dengan puasa satu hari atau dua hari, kecuali kalau orang itu biasa berpuasa tepat di hari puasanya, hendaknya ia berpuasa pada hari itu.’ (Mutafaq ‘alaih)

1244. Dari Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhuma, dia berkata: ‘Rasulullah SAW bersabda: Janganlah kalian berpuasa sebelum Ramadhan. Berpuasalah Ramadhan karena melihat hilal (bulan sabit) dan berbukalah karena melihatnya. Apabila terhalang oleh awan, sempurnakanlah hitungan (Sya’ban) 30 hari.’ (Hadits Riwayat Tirmidzi dan hadits ini dikatakannya shahih)

1245. Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: ‘Rasulullah SAW bersabda: Apabila telah tertinggal separuh dari bulan Sya’ban, janganlah kalian berpuasa.’ (Hadits Riwayat Tirmidzi dan hadits ini dikatakannya hadits ini hasan shahih)

1246. Dari Abul Yaqzhan, yaitu ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: ‘Yang berpuasa pada hari yang diragukan, yakni apakah masih Sya’ban atau Ramadhan, maka ia telah bermaksiat (membangkang) Abul Qasim (yakni Nabi Muhammad).’ (Hadits Riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dan At-Tirmidzi mengatakan ini adalah hadits hasan shahih).

Sumber: Kitab Terjemahan Riyadhus Shalihin, Pustaka As-Sunnah, Cetakan ke-2, Desember 2010, Bab 219. halaman 829 & 830

Kalau ada di anatara teman-teman punya informasi lain seputar amalan Sya’ban, silakan menyampaikan berikut sumbernya. Terima kasih, salaam.

maree maree . .


Yayah
22 Juni 2013 / 15 Sya'ban 1434H

Untuk Indonesia yang lebih baik

Sabtu, 04 Mei 2013

Membaca Doa Qunut Dalam Shalat, Perlu Atau Tidak?


Membaca Doa Qunut Dalam Shalat: Perlu Atau Tidak Ya? 


Disyariatkan membaca doa qunut dengan suara keras ketika mengerjakan shalat lima waktu dan ini dilakukan ketika terjadi bencana.

Dari Ibnu Abbas, ia berkata, ‘Rasulullaah SAW pernah membaca qunut sebulan berturut-turut ketika mengerjakan shalat Shubuh, Ashar, Maghrib, ‘Isya’, dan Shubuh. Beliau membacanya pada raka’at terakhir sesudah ‘samiallahu liman hamidah’. Saat itu beliau memohon kebinasaan bagi Bani Sulaim, Ri’I, Dzakwan, dan Ushayyah sementara makmum yang berada di belakang Rasulullah SAW mengaminkan doa itu. (Hadits Riwayat Abu Dhawud dan Ahmad). Dia menambahkan, Rasulullah SAW mengutus beberapa orang untuk mengajak mereka supaya memeluk agama Islam tetapi utusan itu dibunuh oleh kabilah-kabilah tersebut. Ikirmah berkata bahwa peristiwa itu merupakan saat dimulainya qunut.

Dari Abu Hurairah ra, apabila Rasulullah SAW hendak berdoa untuk keselamatan atau untuk kebinasaan suatu golongan, beliau beliau melakukan qunut sesudah ruku’. Atau barangkali Abu Hurairah mengatakan, setelah Rasulullah membaca ‘samiallahu liman hamidah’ beliau berdoa:
‘Yaa Tuhan kami, bagiMu segala puji. Yaa Allah, selamatkanlah Walid bin Walid, Salamah bin Hisyam, Iyasy bin Abi Rabiah, serta seluruh kaum mukminin yang tertindas. Yaa Allah, keraskanlah siksaMu kepada kaum Mudhar, dan jadikanlah malapetaka bagi mereka berupa kekeringan bertahun-tahun sebagaimana kekeringan bertahun-tahun yang terjadi pada masa Yusuf.’

Rasulullah mengatakan bahwa Rasulullah membaca doa qunut  dengan suara yang keras. Beliau membaca doa qunut pada sebagian doa beliau, dan pada shalat Shubuh, ‘Yaa Allah, kutuklah si Fulan dan si Fulan.’ Maksudnya adalah dua pemukiman kabilah Arab, hingga Allah menurunkan ayat berikut:
‘Masalah yang demikian itu bukan menjadi urusanmu (Muhammad), apakah Allah hendak menerima taubat mereka atau hendak menyiksa mereka. Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dzalim. (Quran Surat ‘Aali ‘Imran (3): 128)’ (Hadits Riwayat Imam Ahmad dan Bukhari)


QUNUT DALAM SHALAT SHUBUH

Membaca qunut dalam shalat Shubuh tidak disyariatkan kecuali pada saat terjadi bencana. Jika terjadi bencana, maka diperkenankan membaca qunut ketika shaalat Shubuh bahkan dalam shalat-shalat fardhu yang lain.

Imam Ahmad, Nasai, dan Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang dinyatakan sahih oleh mereka, dari Abu Malik Al-Asyja’iy berkata, ‘Ayahku pernah mengerjakan shalat di belakang Rasullullah SAW ketika baru berumur 16 tahun, (bersama) Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Aku bertanya apakah Rasulullah SAW dan para shahabta melakukan qunut. Ayahku menjawab, ‘Tidak, Anakku. Itu hanya suatu yang diada-adakan.’

Ibnu Hibban meriwayatkan, Khatib, dan Ibnu Khuzaimah, menurutnya hadits shahih dari Anas , bahwa  Rasulullah SAW tidak pernah melakukan qunut ketika mengerjakan shalat Shubuh kecuali ketika hendak mendoakan kebaikan atau kebinasaan suatu kaum.

Zubair dan tida khalifah (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) meriwayatkan bahwa mereka tidak pernah melakukan qunut ketika mengerjakan shalat Shubuh.

Demikianlah pendapat yang dikemukakan oleh mazhab Hanafi, Hambali, Ibnu Mubarak, Tsauri, dan Ishaq.

Sedangkan mazhab Syafi’I menyatakan bahwa qunut dalam shalat Shubuh yang dilakukan sesudah ruku’ pada rakaat kedua hukumnya adalah sunnah. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Ahmad, Nasai, Ibnu Majah, dan Abu Dawud dari Ibnu Sirin, bahwa Anas bin Malik pernah ditanya apakah Rasulullah SAW pernah melakukan qunut ketika mengerjakan shalat Shubuh. Dia menjawab ‘iya’. Kemudian dia ditanya lagi, ‘Sebelum ruku’ atau sesudahnya?’ Dia menjawab, ‘Sesudah ruku.’

Dalil lainnya adalah yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bazzar, Daraquthni, Baihaki, dan Hakim yang menurutnya hadits ini shahih, dari Anas bin Abdul Malik, dia berkata, ‘Rasulullah SAW senantiasa melakukan qunut ketika mengerjakan shalat Shubuh sampai beliau wafat.’

Argumentasi ini masih perlu dikaji, karena qunut yang dinyatakan adalah qunut saat terjadi bencana sebagaimana yang telah dijelaskan dalam riwayat Bukhari dan Muslim.Sedangkan hadits kedua, di dalam sanadnya (jalur periwayatannya) terdapat seorang perawi bernama Ja’far ar’Razy yang tidak cukup kuat riwayatnya dan haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah karena hal itu tidak masuk akal jika sepanjang hidup Rasulullah membaca qunut ketika mengerjakan shalat Shubuh sebagaimana yang ada dalam riwayat yang bersumber darinya. Seandainya hadits tersebut shahih, maka maksud Rasulullah senantiasa melakukan qunut di sini adalah bahwasanya beliau memperpanjang berdiri setelah ruku’ untuk berdoa atau membaca puji-pujian, sampai beliau wafat. Inilah makna qunut yang lebih tepat dalam hal ini.

Apapun masalahnya, yang jelas adalah perbedaan pendapat yang diperkenankan, dalam hal ini melakukan atau meninggalkan sama saja, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk dari Muhammad SAW.

(Sumber: Kitab Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq, Jilid I, terj. Khairul Amru Harahap, Hal 339-341, Cakrawala Publishing, Cetakan I, Jakarta 2008)

*Seorang ahli fiqih pernah bercerita bahwa suatu hari ketika Imam Malik yang terbiasa tidak membaca doa qunut melakukan perjalanan ke Iraq ke tempat Imam Syafi’I yang membiasakan membaca doa qunut pada shalat Shubuh, Imam Malik ikut membaca doa qunut. Beliau menghormati perbedaan itu. Untuk kita-kita, kalau ada perbedaan pendapat sebaiknya kita cari dasarnya. persatuan umat harus diletakkan di atas segalanya daripada sekedar debat kusir yang membawa mudharat. Ya toh? . . maree maree . . *

Depok, 4 Mei 2013
Yayah
Untuk Indonesia yang lebih baik

Minggu, 28 April 2013

GHIBAH YANG DIPERBOLEHKAN MELIPUTI HAL-HAL BERIKUT: MELAPORKAN KEJAHATAN DAN 5 HAL LAINNYA BERIKUT INI TIDAK TERMASUK GHIBAH


GHIBAH YANG DIPERBOLEHKAN MELIPUTI HAL-HAL BERIKUT:
MELAPORKAN KEJAHATAN DAN 5 HAL LAINNYA 


Ghibah itu diperblehkan karena adanya tujuan yang dibenarkan oleh pandangan syariat, yang tidak mungkin tujuan tadi tercapai melainkan dengan cara ghibah. Dalam hal ini ada enam (6) sebab:

1.       PERTAMA: Dalam mengadukan penganiayaan (kedzaliman), maka dibolehkan seseorang yang merasa dirinya dianiaya untuk mengajukan pengaduan atas aniaya tersebut kepada raja (sultan), hakim, ataupun siapa saja dari golongan orang yang mempunyai jabatan atau kekuasaan untuk menolong orang yang dianiaya itu dari orang yang menganiayanya. Orang yang dianiaya tadi boleh mengatakan: ‘Si Fulan telah menganiaya aku dengan cara begini dan begitu.

2.       KEDUA: Dalam meminta pertolongan untuk menghilangkan suatu kemungkaran dan mengembalikan orang yang melakukan kemaksiatan kepada jalan ketaatan (yang benar). Orang itu boleh mengucapkan kepada orang yang ia harapkan dapat menggunakan kekuasaannya untuk menghilangkan kemungkaran tadi: 'Si Fulan telah mengerjakan ini itu, maka cegahlah ia dari perbuatannya itu.’ atau semisalnya. Maksud dari menceritakan kejelekannya adalah untuk dapat melenyapkan kemungkaran tadi. Jadi, apabila tidak mempunyai maksud demikian, maka ghibah itu adalah haram hukumnya.

3.       KETIGA: Dalam meminta fatwa (keterangan hukum agam). Orang yang hendak meminta fatwa boleh mengatakan kepada orang yang dapat memberi fatwa (mufti): ‘Aku dianiaya oleh ayahku atau saudaraku atau suamiku atau si Fulan dengan perbuatan begini dan begitu, apakah ia berhak berbuat demikian kepadaku? Dan bagaimana jalan untuk menyelamatkan diri dari penganiayaannya? Bagaimana untuk memperoleh hakku dan bagaimanakah caranya menolak kedzalimannya? Dan sebagainya. Ghibah semacam itu adalah boleh sekedar kebutuhan. Tetapi yang lebih berhati-hati dan lebih utama ialah apabila ia mengucapkan: ‘Bagaimana pendapatmu mengenai seseorang atau suami yang berkelakuan demikian? Dengan demikian maka tujuan meminta fatwanya dapat diraih tanpa menentukan atau menyebutkan nama seseorang (yang bersangkutan. Sekalipun demikian, menyebutkan nama seseorang dalam hal ini adalah boleh atau jaiz, sebagaimana yang akan terlihat dari hadits Hindun yang kami kutipkan kemudian.

4.       KEEMPAT: Dalam hal memperingatkan kaum muslimin dari suatu kejelekan serta menasihati mereka. Hal ini dapat diambil dari beberapa sisi, di antaranya ialah aib dan kekurangan para perawi hadits yang memang buruk atau para saksi (dalam suatu perkara). Hal ini boleh dilakukan dengan berdasarkan ijma’nya seluruh kaum Muslimin, bahkan wajib karena ada kepentingan. di antaranya lagi ialah waktu bermusyawarah untuk mengambil seseorang sebagai menantu (berbesanan), atau hendak berserikat dagang, atau akan menitipkan sesuatu ataupun hendak bertetangga. Orang yang dimintai musyawarah wajib untuk tidak menyembunyikan keadaan orang yang ditanyakan oleh orang yang meminta pertimbangan tadi, bahkan ia harus menyebutkan beberapa cela (aib) yang benar-benar ada dalam diri orang yang ditanyakan itu dengan niat menasihati. Di antaranya lagi ialah apabila seseorang melihat seorang penuntut ilmu agama yang mondar-mandir ke tempat ahli bid’ah atau orang fasik yang ilmu agamanya ditimbanya dan dikhawatirkan kalau-kalau penuntut ilmu agama tadi terkena syubhat dari pergaulan dua macam orang tersebut (fasik dan ahli bid’ah). Maka orang yang melihat itu boleh membeberkan (penuntut ilmu agama tadi) tentang hal gurunya tadi dengan syarat benar-benar untuk menasihati.
Persoalan di atas itu seringkali disalahgunakan di mana orang yang berbicara (hendak menasihati) terdorong oleh kedengkian, dan syaithan mencampuradukkan seta mengaburkan pada orang itu perkara ini. Syaithan menampakkan pada orang tersebut, seolah-olah apa yang dilakukannya itu adalah nasihat, tetapi sebenarnya adalah karena tujuan lain. oleh sebab itu, hendaklah kita pandai-pandai mendudukkan persoalan ini. Di antaranya lagi ada seseorang yang memiliki suatu jabatan yang tidak menggunakannya sesuai ketentuan atau sebagaimana mestinya, baik karena etos kerjanya yang tidak becus atau karena ia fasik (senang dan sering melakukan pelanggaran), atau karena kelalaiannya dan sebagainya. Maka hal itu wajib dilaporkan kepada pemimpin yang membawahinya agar menggeser orang ini, atau menggantikannya dengan orang-orang yang lebih mumpuni, atau agar ia tahu keadaan sebenarnya sehingga dapat mengambil tindakan dan tidak tertipu olehnya, dan supaya ia memerintahkannya agar istiqomah.

5.       KELIMA: Orang yang sengaja melakukan kefasikan (pelanggaran) atau kebid’ahan secara terang-terangan seperti peminum khamar, orang yang hobi menggunjing, atau menarik pungutan liar, merampas harta secara paksa, mengurusi perkara-perkara yang tidak benar, maka boleh menyebutkan apa-apa yang dilakukannya, secara terang-terangan tetapi haram menyebutkan aib yang lain kecuali ada sebab lain seperti yang sudah kami sebutkan.

6.       KEENAM: Ta’rif (mengenalkan nama atau julukan),  jika ada orang yang terkenal dengan julukan, seperti Si Rabun (A’masy), Si Pincang (A’Raj), Si Tuli (‘Asham), Si Buta (A’maa), dan Si Juling (Ahwal) dan lain-lain, maka boleh menyebutkan hal-hal tadi akan tetapi haram hukumnya menyebutkan hal-hal tadi jika dengan niat menghina (melecehkan). Dan jika bisa dengan memberi gelar atau julukan lain pada orang tersebut (yang lebih baik) maka itu yang utama.

Inilah enam (6) sebab yang yang disebutkan oleh para ulama yang kebanyakan adalah hasil ijma’ (kesepakatan ulama0. Dalil-dalil dari hadits yang shahih sudah terkenal popular di antaranya:

1554. Dari Aisyah r.a., bahwasanya ada seorang lelaki meminta izin kepada Rasulullah (untuk masuk), maka beliau SAW bersabda kepada shahabat-shahabat: ‘Izinkanlah ia masuk, ia adalah seburuk-buruknya orang dari kabilahnya.’ (Muttafaqun ‘alaih / Bukhari Muslim)

Imam Bukhari memakai hadits ini sebagai hujjah atas dibolehkannya ghibah menyebutkan kejelekan) orang-orang yang rusak (fasik, ahli maksiat) dan orang-orang yang diragukan (kredibilitas) agamanya.

1555. Dari Aisyah r.a. pula, ia berkata: ‘Rasulullah SAW bersabda: ‘Aku tidak yakin kalau Si Fulan dan Si Fulan itu mengetahui perihal agama kita sedikitpun.’ (Hadits Riwayat Bukhari, ia berkata: ‘Alaits bin Sa’ad, salah seorang yang meriwayatkan hadits ini berkata: Kedua orang lelaki itu termasuk golongan kaum munafik.’

1556. Dari Fathimah binti Qais r.a., dia berkata: ‘Aku mendatangi nabi SAW lalu aku berkata: Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah itu sama-sama melamar diriku. Rasulullah SAW bersabda: Adapun Mu’awiyah adalah seorang fakir yang tidak berharta, sedangkan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (kejam).’ (Muttafaqun ‘Alaih / Bukhari Muslim)

Dari Riwayat Imam Muslim disebutkan: ‘Adapun Abul Jahm, ia adalah orang yang gemar memukul wanita.’ Ini adalah sebagai tafsiran dari riwayat yang menyebutkan bahwa ia tidak pernah meletakkan tongkat dari bahunya. Ada pula yang mengartikan lain: ‘tidak pernah meletakkan tongkat dari bahunya’ itu maksudnya ‘sering bepergian safar’.

1557. Dari Zaid bin Atqam r.a., dia berkata: ‘Kami keluar bersama Rasulullah SAW dalam suatu perjalanan yang menyebabkan orang banyak menemui kesulitan, lalu Abdullah bin Ubay berkata:
‘Janganlah kalian memberikan apa-apa kepada yang dekat dengan Rasulullah, sehingga mereka pergi dan berpaling (dari beliau SAW).’ Selanjutnya ia berkata lagi: ‘Sungguh, jika kita kembali ke Madinah, orang yang mulia (berkuasa) akan mengusir orang yang hina.’
Aku lalu memberitahu Rasulullah SAW dan memberitahukan ucapan Abdullah bin Ubay di atas. Beliau SAW menyuruh Abdullah bin Ubay datang kepadanya, lalu ia bersungguh-sungguh dalam sumpahnya bahwa ia tidak melakukan itu. Para shahabat lalu berkata: ‘Zaid berdusta kepada rasulullah SAW.’ Jiwaku terasa sesak sekali oleh ucapan mereka itu, sehingga Allah ta’ala menurunkan ayat, untuk membenarkan apa yang kukatakan tadi, yaitu: ‘Jika orang-orang munafik itu datang kepadamu.’ (Al-Munafiqun (63): 1, silakan dilanjutkan sendiri bacaan Ayat ini). Nabi SAW lalu memanggil mereka untuk memohonkan ampunan (bagi orang-orang yang mengatakan bahwa Zaid berdusta) oleh beliau SAW, tetapi orang-orang itu memalingkan kepalanya (enggan untuk dimintakan ampun).’ (Muttafaqun ‘Alaih)

1558. Dari Aisyah r.a., dia berkata: ‘Hindun, yaitu isteri Abu Sufyan, berkata kepada Nabi SAW: ‘Sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang kikir, ia tidak pernah memberikan nafkah yang dapat mencukupi kebutuhanku dan keperluan anakku, selain dengan cara kuambil sesuatu darinya tanpa sepengetahuannya.’ Beliau SAW bersabda: ‘Ambillah apa yang sekiranya dapat mencukupi kebutuhanmu dan kebutuhan anakmu dengan ma’ruf (baik dan wajar tidak berlebihan).’ (Muttafaqun ‘Alaih)  . .


Catatan: Tulisan ini saya kutip dari Terjemahan Kitab Riyadhus Shalihin karya imam Nawawi halaman 1012 – 1017, Cetakan I, Jakarta, Pustaka As-Sunnah, 2009) sebagai jawaban atas pertanyaan Saudara @abang_yupi66 kepada @Gus_Sholah  tanggal 28 April 2013)

Semoga bermanfaat, maree maree . .

Yayah
Depok, 29 April, 2013
Untuk Indonesia yang lebih baik