Halaman

Minggu, 28 April 2013

GHIBAH YANG DIPERBOLEHKAN MELIPUTI HAL-HAL BERIKUT: MELAPORKAN KEJAHATAN DAN 5 HAL LAINNYA BERIKUT INI TIDAK TERMASUK GHIBAH


GHIBAH YANG DIPERBOLEHKAN MELIPUTI HAL-HAL BERIKUT:
MELAPORKAN KEJAHATAN DAN 5 HAL LAINNYA 


Ghibah itu diperblehkan karena adanya tujuan yang dibenarkan oleh pandangan syariat, yang tidak mungkin tujuan tadi tercapai melainkan dengan cara ghibah. Dalam hal ini ada enam (6) sebab:

1.       PERTAMA: Dalam mengadukan penganiayaan (kedzaliman), maka dibolehkan seseorang yang merasa dirinya dianiaya untuk mengajukan pengaduan atas aniaya tersebut kepada raja (sultan), hakim, ataupun siapa saja dari golongan orang yang mempunyai jabatan atau kekuasaan untuk menolong orang yang dianiaya itu dari orang yang menganiayanya. Orang yang dianiaya tadi boleh mengatakan: ‘Si Fulan telah menganiaya aku dengan cara begini dan begitu.

2.       KEDUA: Dalam meminta pertolongan untuk menghilangkan suatu kemungkaran dan mengembalikan orang yang melakukan kemaksiatan kepada jalan ketaatan (yang benar). Orang itu boleh mengucapkan kepada orang yang ia harapkan dapat menggunakan kekuasaannya untuk menghilangkan kemungkaran tadi: 'Si Fulan telah mengerjakan ini itu, maka cegahlah ia dari perbuatannya itu.’ atau semisalnya. Maksud dari menceritakan kejelekannya adalah untuk dapat melenyapkan kemungkaran tadi. Jadi, apabila tidak mempunyai maksud demikian, maka ghibah itu adalah haram hukumnya.

3.       KETIGA: Dalam meminta fatwa (keterangan hukum agam). Orang yang hendak meminta fatwa boleh mengatakan kepada orang yang dapat memberi fatwa (mufti): ‘Aku dianiaya oleh ayahku atau saudaraku atau suamiku atau si Fulan dengan perbuatan begini dan begitu, apakah ia berhak berbuat demikian kepadaku? Dan bagaimana jalan untuk menyelamatkan diri dari penganiayaannya? Bagaimana untuk memperoleh hakku dan bagaimanakah caranya menolak kedzalimannya? Dan sebagainya. Ghibah semacam itu adalah boleh sekedar kebutuhan. Tetapi yang lebih berhati-hati dan lebih utama ialah apabila ia mengucapkan: ‘Bagaimana pendapatmu mengenai seseorang atau suami yang berkelakuan demikian? Dengan demikian maka tujuan meminta fatwanya dapat diraih tanpa menentukan atau menyebutkan nama seseorang (yang bersangkutan. Sekalipun demikian, menyebutkan nama seseorang dalam hal ini adalah boleh atau jaiz, sebagaimana yang akan terlihat dari hadits Hindun yang kami kutipkan kemudian.

4.       KEEMPAT: Dalam hal memperingatkan kaum muslimin dari suatu kejelekan serta menasihati mereka. Hal ini dapat diambil dari beberapa sisi, di antaranya ialah aib dan kekurangan para perawi hadits yang memang buruk atau para saksi (dalam suatu perkara). Hal ini boleh dilakukan dengan berdasarkan ijma’nya seluruh kaum Muslimin, bahkan wajib karena ada kepentingan. di antaranya lagi ialah waktu bermusyawarah untuk mengambil seseorang sebagai menantu (berbesanan), atau hendak berserikat dagang, atau akan menitipkan sesuatu ataupun hendak bertetangga. Orang yang dimintai musyawarah wajib untuk tidak menyembunyikan keadaan orang yang ditanyakan oleh orang yang meminta pertimbangan tadi, bahkan ia harus menyebutkan beberapa cela (aib) yang benar-benar ada dalam diri orang yang ditanyakan itu dengan niat menasihati. Di antaranya lagi ialah apabila seseorang melihat seorang penuntut ilmu agama yang mondar-mandir ke tempat ahli bid’ah atau orang fasik yang ilmu agamanya ditimbanya dan dikhawatirkan kalau-kalau penuntut ilmu agama tadi terkena syubhat dari pergaulan dua macam orang tersebut (fasik dan ahli bid’ah). Maka orang yang melihat itu boleh membeberkan (penuntut ilmu agama tadi) tentang hal gurunya tadi dengan syarat benar-benar untuk menasihati.
Persoalan di atas itu seringkali disalahgunakan di mana orang yang berbicara (hendak menasihati) terdorong oleh kedengkian, dan syaithan mencampuradukkan seta mengaburkan pada orang itu perkara ini. Syaithan menampakkan pada orang tersebut, seolah-olah apa yang dilakukannya itu adalah nasihat, tetapi sebenarnya adalah karena tujuan lain. oleh sebab itu, hendaklah kita pandai-pandai mendudukkan persoalan ini. Di antaranya lagi ada seseorang yang memiliki suatu jabatan yang tidak menggunakannya sesuai ketentuan atau sebagaimana mestinya, baik karena etos kerjanya yang tidak becus atau karena ia fasik (senang dan sering melakukan pelanggaran), atau karena kelalaiannya dan sebagainya. Maka hal itu wajib dilaporkan kepada pemimpin yang membawahinya agar menggeser orang ini, atau menggantikannya dengan orang-orang yang lebih mumpuni, atau agar ia tahu keadaan sebenarnya sehingga dapat mengambil tindakan dan tidak tertipu olehnya, dan supaya ia memerintahkannya agar istiqomah.

5.       KELIMA: Orang yang sengaja melakukan kefasikan (pelanggaran) atau kebid’ahan secara terang-terangan seperti peminum khamar, orang yang hobi menggunjing, atau menarik pungutan liar, merampas harta secara paksa, mengurusi perkara-perkara yang tidak benar, maka boleh menyebutkan apa-apa yang dilakukannya, secara terang-terangan tetapi haram menyebutkan aib yang lain kecuali ada sebab lain seperti yang sudah kami sebutkan.

6.       KEENAM: Ta’rif (mengenalkan nama atau julukan),  jika ada orang yang terkenal dengan julukan, seperti Si Rabun (A’masy), Si Pincang (A’Raj), Si Tuli (‘Asham), Si Buta (A’maa), dan Si Juling (Ahwal) dan lain-lain, maka boleh menyebutkan hal-hal tadi akan tetapi haram hukumnya menyebutkan hal-hal tadi jika dengan niat menghina (melecehkan). Dan jika bisa dengan memberi gelar atau julukan lain pada orang tersebut (yang lebih baik) maka itu yang utama.

Inilah enam (6) sebab yang yang disebutkan oleh para ulama yang kebanyakan adalah hasil ijma’ (kesepakatan ulama0. Dalil-dalil dari hadits yang shahih sudah terkenal popular di antaranya:

1554. Dari Aisyah r.a., bahwasanya ada seorang lelaki meminta izin kepada Rasulullah (untuk masuk), maka beliau SAW bersabda kepada shahabat-shahabat: ‘Izinkanlah ia masuk, ia adalah seburuk-buruknya orang dari kabilahnya.’ (Muttafaqun ‘alaih / Bukhari Muslim)

Imam Bukhari memakai hadits ini sebagai hujjah atas dibolehkannya ghibah menyebutkan kejelekan) orang-orang yang rusak (fasik, ahli maksiat) dan orang-orang yang diragukan (kredibilitas) agamanya.

1555. Dari Aisyah r.a. pula, ia berkata: ‘Rasulullah SAW bersabda: ‘Aku tidak yakin kalau Si Fulan dan Si Fulan itu mengetahui perihal agama kita sedikitpun.’ (Hadits Riwayat Bukhari, ia berkata: ‘Alaits bin Sa’ad, salah seorang yang meriwayatkan hadits ini berkata: Kedua orang lelaki itu termasuk golongan kaum munafik.’

1556. Dari Fathimah binti Qais r.a., dia berkata: ‘Aku mendatangi nabi SAW lalu aku berkata: Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah itu sama-sama melamar diriku. Rasulullah SAW bersabda: Adapun Mu’awiyah adalah seorang fakir yang tidak berharta, sedangkan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (kejam).’ (Muttafaqun ‘Alaih / Bukhari Muslim)

Dari Riwayat Imam Muslim disebutkan: ‘Adapun Abul Jahm, ia adalah orang yang gemar memukul wanita.’ Ini adalah sebagai tafsiran dari riwayat yang menyebutkan bahwa ia tidak pernah meletakkan tongkat dari bahunya. Ada pula yang mengartikan lain: ‘tidak pernah meletakkan tongkat dari bahunya’ itu maksudnya ‘sering bepergian safar’.

1557. Dari Zaid bin Atqam r.a., dia berkata: ‘Kami keluar bersama Rasulullah SAW dalam suatu perjalanan yang menyebabkan orang banyak menemui kesulitan, lalu Abdullah bin Ubay berkata:
‘Janganlah kalian memberikan apa-apa kepada yang dekat dengan Rasulullah, sehingga mereka pergi dan berpaling (dari beliau SAW).’ Selanjutnya ia berkata lagi: ‘Sungguh, jika kita kembali ke Madinah, orang yang mulia (berkuasa) akan mengusir orang yang hina.’
Aku lalu memberitahu Rasulullah SAW dan memberitahukan ucapan Abdullah bin Ubay di atas. Beliau SAW menyuruh Abdullah bin Ubay datang kepadanya, lalu ia bersungguh-sungguh dalam sumpahnya bahwa ia tidak melakukan itu. Para shahabat lalu berkata: ‘Zaid berdusta kepada rasulullah SAW.’ Jiwaku terasa sesak sekali oleh ucapan mereka itu, sehingga Allah ta’ala menurunkan ayat, untuk membenarkan apa yang kukatakan tadi, yaitu: ‘Jika orang-orang munafik itu datang kepadamu.’ (Al-Munafiqun (63): 1, silakan dilanjutkan sendiri bacaan Ayat ini). Nabi SAW lalu memanggil mereka untuk memohonkan ampunan (bagi orang-orang yang mengatakan bahwa Zaid berdusta) oleh beliau SAW, tetapi orang-orang itu memalingkan kepalanya (enggan untuk dimintakan ampun).’ (Muttafaqun ‘Alaih)

1558. Dari Aisyah r.a., dia berkata: ‘Hindun, yaitu isteri Abu Sufyan, berkata kepada Nabi SAW: ‘Sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang kikir, ia tidak pernah memberikan nafkah yang dapat mencukupi kebutuhanku dan keperluan anakku, selain dengan cara kuambil sesuatu darinya tanpa sepengetahuannya.’ Beliau SAW bersabda: ‘Ambillah apa yang sekiranya dapat mencukupi kebutuhanmu dan kebutuhan anakmu dengan ma’ruf (baik dan wajar tidak berlebihan).’ (Muttafaqun ‘Alaih)  . .


Catatan: Tulisan ini saya kutip dari Terjemahan Kitab Riyadhus Shalihin karya imam Nawawi halaman 1012 – 1017, Cetakan I, Jakarta, Pustaka As-Sunnah, 2009) sebagai jawaban atas pertanyaan Saudara @abang_yupi66 kepada @Gus_Sholah  tanggal 28 April 2013)

Semoga bermanfaat, maree maree . .

Yayah
Depok, 29 April, 2013
Untuk Indonesia yang lebih baik