Halaman

Sabtu, 04 Mei 2013

Membaca Doa Qunut Dalam Shalat, Perlu Atau Tidak?


Membaca Doa Qunut Dalam Shalat: Perlu Atau Tidak Ya? 


Disyariatkan membaca doa qunut dengan suara keras ketika mengerjakan shalat lima waktu dan ini dilakukan ketika terjadi bencana.

Dari Ibnu Abbas, ia berkata, ‘Rasulullaah SAW pernah membaca qunut sebulan berturut-turut ketika mengerjakan shalat Shubuh, Ashar, Maghrib, ‘Isya’, dan Shubuh. Beliau membacanya pada raka’at terakhir sesudah ‘samiallahu liman hamidah’. Saat itu beliau memohon kebinasaan bagi Bani Sulaim, Ri’I, Dzakwan, dan Ushayyah sementara makmum yang berada di belakang Rasulullah SAW mengaminkan doa itu. (Hadits Riwayat Abu Dhawud dan Ahmad). Dia menambahkan, Rasulullah SAW mengutus beberapa orang untuk mengajak mereka supaya memeluk agama Islam tetapi utusan itu dibunuh oleh kabilah-kabilah tersebut. Ikirmah berkata bahwa peristiwa itu merupakan saat dimulainya qunut.

Dari Abu Hurairah ra, apabila Rasulullah SAW hendak berdoa untuk keselamatan atau untuk kebinasaan suatu golongan, beliau beliau melakukan qunut sesudah ruku’. Atau barangkali Abu Hurairah mengatakan, setelah Rasulullah membaca ‘samiallahu liman hamidah’ beliau berdoa:
‘Yaa Tuhan kami, bagiMu segala puji. Yaa Allah, selamatkanlah Walid bin Walid, Salamah bin Hisyam, Iyasy bin Abi Rabiah, serta seluruh kaum mukminin yang tertindas. Yaa Allah, keraskanlah siksaMu kepada kaum Mudhar, dan jadikanlah malapetaka bagi mereka berupa kekeringan bertahun-tahun sebagaimana kekeringan bertahun-tahun yang terjadi pada masa Yusuf.’

Rasulullah mengatakan bahwa Rasulullah membaca doa qunut  dengan suara yang keras. Beliau membaca doa qunut pada sebagian doa beliau, dan pada shalat Shubuh, ‘Yaa Allah, kutuklah si Fulan dan si Fulan.’ Maksudnya adalah dua pemukiman kabilah Arab, hingga Allah menurunkan ayat berikut:
‘Masalah yang demikian itu bukan menjadi urusanmu (Muhammad), apakah Allah hendak menerima taubat mereka atau hendak menyiksa mereka. Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dzalim. (Quran Surat ‘Aali ‘Imran (3): 128)’ (Hadits Riwayat Imam Ahmad dan Bukhari)


QUNUT DALAM SHALAT SHUBUH

Membaca qunut dalam shalat Shubuh tidak disyariatkan kecuali pada saat terjadi bencana. Jika terjadi bencana, maka diperkenankan membaca qunut ketika shaalat Shubuh bahkan dalam shalat-shalat fardhu yang lain.

Imam Ahmad, Nasai, dan Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang dinyatakan sahih oleh mereka, dari Abu Malik Al-Asyja’iy berkata, ‘Ayahku pernah mengerjakan shalat di belakang Rasullullah SAW ketika baru berumur 16 tahun, (bersama) Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Aku bertanya apakah Rasulullah SAW dan para shahabta melakukan qunut. Ayahku menjawab, ‘Tidak, Anakku. Itu hanya suatu yang diada-adakan.’

Ibnu Hibban meriwayatkan, Khatib, dan Ibnu Khuzaimah, menurutnya hadits shahih dari Anas , bahwa  Rasulullah SAW tidak pernah melakukan qunut ketika mengerjakan shalat Shubuh kecuali ketika hendak mendoakan kebaikan atau kebinasaan suatu kaum.

Zubair dan tida khalifah (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) meriwayatkan bahwa mereka tidak pernah melakukan qunut ketika mengerjakan shalat Shubuh.

Demikianlah pendapat yang dikemukakan oleh mazhab Hanafi, Hambali, Ibnu Mubarak, Tsauri, dan Ishaq.

Sedangkan mazhab Syafi’I menyatakan bahwa qunut dalam shalat Shubuh yang dilakukan sesudah ruku’ pada rakaat kedua hukumnya adalah sunnah. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Ahmad, Nasai, Ibnu Majah, dan Abu Dawud dari Ibnu Sirin, bahwa Anas bin Malik pernah ditanya apakah Rasulullah SAW pernah melakukan qunut ketika mengerjakan shalat Shubuh. Dia menjawab ‘iya’. Kemudian dia ditanya lagi, ‘Sebelum ruku’ atau sesudahnya?’ Dia menjawab, ‘Sesudah ruku.’

Dalil lainnya adalah yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bazzar, Daraquthni, Baihaki, dan Hakim yang menurutnya hadits ini shahih, dari Anas bin Abdul Malik, dia berkata, ‘Rasulullah SAW senantiasa melakukan qunut ketika mengerjakan shalat Shubuh sampai beliau wafat.’

Argumentasi ini masih perlu dikaji, karena qunut yang dinyatakan adalah qunut saat terjadi bencana sebagaimana yang telah dijelaskan dalam riwayat Bukhari dan Muslim.Sedangkan hadits kedua, di dalam sanadnya (jalur periwayatannya) terdapat seorang perawi bernama Ja’far ar’Razy yang tidak cukup kuat riwayatnya dan haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah karena hal itu tidak masuk akal jika sepanjang hidup Rasulullah membaca qunut ketika mengerjakan shalat Shubuh sebagaimana yang ada dalam riwayat yang bersumber darinya. Seandainya hadits tersebut shahih, maka maksud Rasulullah senantiasa melakukan qunut di sini adalah bahwasanya beliau memperpanjang berdiri setelah ruku’ untuk berdoa atau membaca puji-pujian, sampai beliau wafat. Inilah makna qunut yang lebih tepat dalam hal ini.

Apapun masalahnya, yang jelas adalah perbedaan pendapat yang diperkenankan, dalam hal ini melakukan atau meninggalkan sama saja, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk dari Muhammad SAW.

(Sumber: Kitab Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq, Jilid I, terj. Khairul Amru Harahap, Hal 339-341, Cakrawala Publishing, Cetakan I, Jakarta 2008)

*Seorang ahli fiqih pernah bercerita bahwa suatu hari ketika Imam Malik yang terbiasa tidak membaca doa qunut melakukan perjalanan ke Iraq ke tempat Imam Syafi’I yang membiasakan membaca doa qunut pada shalat Shubuh, Imam Malik ikut membaca doa qunut. Beliau menghormati perbedaan itu. Untuk kita-kita, kalau ada perbedaan pendapat sebaiknya kita cari dasarnya. persatuan umat harus diletakkan di atas segalanya daripada sekedar debat kusir yang membawa mudharat. Ya toh? . . maree maree . . *

Depok, 4 Mei 2013
Yayah
Untuk Indonesia yang lebih baik