Halaman

Jumat, 08 November 2013

Shalat Sunnah Dzuhur: 4, 6, atau 8 rakaat?

Shalat Sunnah Dzuhur: 4, 6, atau 8 rakaat? 



Ada beberapa pendapat tentang shalat sunnah Dzuhur, tentang jumlah rakaatnya, bahwa shalat sunnah dzuhur itu dikerjakan 4 rakaat (2 sebelum dan 2 sesudah), 6 rakaat (4 sebelum dan 2 sesudah), atau 8 rakaat (4 sebelum dan 4 sesudah). Berikut ini landasan haditsnya: 

Riwayat yang menyatakan 4 rakaat: 
1. Dari Ibnu Umarr, ia mengatakan, 'Yang aku ingat dari Rasulullah SAW (shalat sunnah rawatib) sebanyak sepuluh rakaat: 2 rakaat sebum Dzuhur, 2 rakaat sesudahnya, 2 rakaat sesudah Maghrib di rumah beliau, 2 rakaat sesudah Isya' di rumah beliau, dan 2 rakaat sebelum Shubuh.' (Hadits Riwayat Bukhari) 

2. Dari Mughirah bin Sulaiman, ia mengatakan, 'Aku mendengar Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW tidak meninggalkan 2 rakaat sebelum Dzuhur, 2 sesudahnya, 2 sesudah Maghrib! 2 rakaat sesudah Isya', dan 2 rakaat sebelum Shubuh.' (Hadits Riwayat Ahmad) 

Riwayat yang menyatakan enam rakaat: 

1. Dari Abdullah bin Syaqiq, ia mengatakan, 'Aku bertanya. Kepada Aisyah mengenai shalat Rasulullah SAW. Aisyah berkata bahwa Beliau mengerjakan 4 rakaat sebelum Dzuhur dan 2 rakaat sesudahnya.' (Hadits Riwayat Ahmad) . .

2. Dari Umar Habibah binti Abu Sufyan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, 'Siapa mengerjakan shalat (sunnah) malam dan siang hari sebanyak 12 rakaat, maka Allah akan membangun untuknya sebuah rumah di surga: 4 rakaat sebelum Dzuhur, 2 rakaat sesudahnya, 2 rakaat sesudah Maghrib, 2 rakaat sesudah Isya', dan 2 rakaat sebelum Fajar (Shubuh).' (Hadits Riwayat Tirmidzi) . .

Keutamaan shalat empat rakaat sebelum Dzuhur:

1. Dari Abu Ayyub al-Anshary, bahwasanya dia mengerjakan shalat 4 raka'at sebelum Dzuhur saat dia ditanya, apakah engkau selalu mengerjakan shalat sunnah ini? Dia menjawab, 'Aku melihat Rasulullah SAW mengerjakannya, dan ketika aku bertanya, beliau bersabda, 'Saat itu adalah saat pintu-pintu langit dibuka. Oleh karena itu aku ingin kebaikanku dinaikkan (ke langit) pada saat itu.''  (Hadits Riwayat Ahmad)

2. Dari Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkan empat rakaat sebelum Dzuhur dan dua rakaat sebelum Fahar dalam keadaan apapun. (Hadits Riwayat Ahmad dan Bukhari). Dari Aisyah, bahwa Rasulullah SAW mengerjakan shalat empat rakaat sebelum Dzuhur dengan memperlama waktu berdiri ketika mengerjakannya, dan beliau ruku' serta sujud dengan sebaik-baiknya.

Menurut Kitab ini, tidak ada kontradiksi antara hadits yang bersumber dari Ibnu Umar yang menjelaskan bahwa Rasululllah SAW pernah mengerjakan shalat dua rakaat sebelum Dzuhur, dengan hadits-hadits lain yang menegaskan bahwa Beliau pernah mengerjakannya empat rakaat. Dalam kitab Fath al-Bariy, Al-Haidz Ibnu Hajar berkata bahwa yang lebih utama adalah mengaitkan maksud hadits-hadits tersebut pada dua keadaan tersebut. Dengan demikian, kadang Rasulullah SAW mengerjakannya dua rakaat dan kadang empat rakaat. Ada yang berpendapat bahwa maksudnya adalah bahwa Beliau mengerjakan hanya dua rakaat ketika di masjid, sedangkan ketika di rumah beliau mengerjakannya empat rakaat dan ketika tiba di masjid Beliau mengerjakannya dua rakaat lagi. Dengan demikian Ibnu Umar melihat shalat yang Beliau kerjakan di masjid sementara Aisyah mengetahui keduanya, baik shalat yang Beliau kerjakan di rumah maupun yang beliau kerjakan di masjid. Pendapat pertama didukunga hadits Aisyah yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW mengerjakan shalat empat rakaat sebelum Dzuhur di rumah beliau, lalu beliau keluar menuju masjid. 

Abu Ja'far ath-Thabary mengatakan bahwa empat rakaat itu sering Rasulullah SAW kerjakan sedangkan yang dua rakaat jarang Beliau lakukan. 
Jika seseorang melakukan shalat empat rakaat baik sebelum Dzuhur ataupun sesudahnya, maka sebaiknya salam pada setiap dua rakaat. Meskipun, dia tetap diperbolehkan mengerjakan empat rakaat sekaligus dengan sekali salam. 

'Shalat Sunnah yang dikerjakan pada malam hari dan siang hari dua dua.' (Hadits Riwayat Abu Daud) 

Kalau ada yang jumlah rakaatnya beda, gak perlu cakar-cakaran. Biasa saja. Oke sip! . .

Maree maree . .


Sumber: Kitab Fikih Sunnah Sayyid Sabiq Jilid 1 Halaman 320-323, CP Cakrawala Publishing, 2008)

Yayah
Depok, 9 November 2013
Untuk Indonesia yang lebih baik

Tanggung Jawab Menafkahi Istri, Kalau Suami Meninngal, Diatur dengan Baik oleh Quran

Tanggung Jawab Menafkahi Istri, Kalau Suami Meninngal, Diatur dengan Baik oleh Quran


'Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruj pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.' (Quran Surat Al-Baqarrah: 240) . .

Penjelasan ayat di atas menurut Tafsir Muyassar Jilid 1:

'Sebelum seorang suami meninggal dunia, hendaklah ia mewasiatkan untuk istrinya sejumlah harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup satu tahun penuh sepeninggalnya. Karena, ketika seseorang meninggal, istrinya tidak boleh keluar dari tempat tinggalnya selama satu tahun tersebut. Dahulu, masa setahun ini adalah masa 'iddah bagi wanita yang ditinggal oleh suaminya, kemudian ketatapan ini dihaous dan diganti menjjadi empat bulan sepuluh hari.

Perhatikanlah, betapa Allah melindungi hak-hakk dan menentukan batasan-batasan dengan sangat bijaksana. Apabila seorang istri keluar dari rumah suaminya yang meninggal dunia setelah habis masa 'iddah-nya maka tidak ada dosa bagi wali untuk memberi izin kepadanya untuk berhias, mempercantik diri, dan menggunakan minyak wangi sesuai dengan ketentuan yang dibolehkan syariat dengan maksud agar ada yang melamarnya lagi. Yang demikian itu, karena Dia Maha Perkasa dan berhak memerintah, Maha Bijaksana dan bersikap adil.

Di antara salah satu wujud keperkasaanNya adalah bahwa Allah menurunkan perintah dan larangan-larangan. Sedangkan di antara bukti akan hikmahNya adalah bahwa Allah menetapkan hhukum sesuai dengan kebutuhan dan kondisi.'

Demikianlah penjelasan ayat di atas. Ini hanya satu ayat, dan tentunya memerlukan penjelasan dari hadits-hadits Nabi jika terjadi kondisi-kondisi tertentu, untuk dijadikan rujukan. Mengapa? Karena dalam kehidupan sehari-hari ada berbagai peristiwa yang tidak sama persis dengan peristiwa-peristiwa pada zaman Nabi. 

Peristiwa-peristiwa lain itu misalnya: Bagaimana kalau sang istri bekerja di kantor atau berdagang atau lainnya? Apakah boleh bekerja? Bagaimana kalau suaminya tidak punya harta banyak? Bagaimana kalau, bagaimana kalau, dan bagaimana kalau?

Nha, kalau kamu mau lebih pinter dari aku, sila baca buku-buku fiqih dan pergi mengaji fiqih kepada guru fiqih yang pintar dan sila buka-buka internetnya. Kalau sudah, sila berbagi ilmunya kepada saya. Saya bukan orang pintar, hehehe . . Oke? . . 


Yang pasti, yang membuat saya kagum dengan ayat ini, saya melihat bahwa masalah ekonomi, nafkah keluarga, ternyata menduduki posisi sangat penting, salah satu tanggung jawab suami yang diatur Allah sedemikian detail. Dan, tentunya, baru kali ini tahu perintah seperti itu. Luar biasa! 

Subhaanallah walhamdulillaah wa laa ilaaha illaalloohu Allahu Akbar . .

Maree maree . . 

Yayah
Depok, 9 November 2013
Untuk Indonesia yang lebih baik