Halaman

Minggu, 11 Maret 2012

Fenomena Nasdem yang Mengungguli Partai-partai Menengah

Fenomena Nasdem yang Mengungguli Partai-partai Menengah

Survei LSI terakhir menunjukkan kenaikan minat masyarakat yang lluar biasa, yang mendudukkan  partai tersebut pada posisi keempat. Posisi itu biasanya diduduki partai-partai menengah anntara lain PKS, PAN, dan PPP. Sebagian orang berpendapat bahwa hal itu disebabkan karena ekspose iklan TV. Tapi aku punya pendapat yang berbeda. Boleh?
Partai Nasdem baru secara resmi menjadi partai pada kuartal terakhir  tahun 2011 yang lalu. Partai itu belum pernah bersinggungan dengan lobi-lobi dan keputusan-keputusan politik yang melibatkan kekuatan lintas partai di Senayan. Dia belum bersinggungan dengan keputusan-keputusan tentang kebijakan-kebijakan public, yang mungkin sekali merugikan masyarakat. Jadi, dia masih terkesan bersih, tanpa cela, tanpa cacat. Sebelum Nazarudiiin berkicau, orang-orang tersihir dengan partai “Katakan Tidak!  bukan? Entah apa maksud mereka membuat iklan “Katakan Tidak!” itu. 
Partai “Katakan Tidak!” sempat menyihir masyarakat untuk beberapa lama. Apa saja yang dikatakan oleh Pembinanya seakan-akan menjadi fatwa yang harus dihormati dan dilaksanakan oleh pendengarnya. Mereka sudah hampir setengah dewa. Tapi apa mau dikata? “Katakan Tidak!”  sudah tidak lagi merefleksikan makna terdalamnya.
Lain halnya dengan Gerindra, dengan Pius Listru Lanang-nya di Banggar. Gerindra yang mendapatkan suara kurang dari 5% di DPR nyaris tidak punya kekuatan apa-apa dalam menggolkan suatu kebijakan. Mungkin saja Pius di Banggar menolak usulan-usulan anggota Banggar yang jauh lebih besar jumlah dan kekuatannya. Dia bersama beberapa gelintir anggota Banggar dari partai kecil dan menengah punya suara yang berbeda, tapi apa kuasa dia? Apa yang bisa dimenangkan oleh suara yang nyaris tak bergaung karena saking minornya?  
Ketika PAN menghendaki KPK dikuatkan, tapi jumlah suara mereka hanya seucrit saja, apa yang bisa mereka teriakkan di media? Mau koar-koar di media bahwa mereka punya pendapat yang berbeda? Siap-siap saja dihajar oleh pemborong suara besar di sekitarnya? Mau abstain, teguh pada pendiriannya? Bisa saja dia dicap nggak gaul, nggak kooperatif dengan suara partai berkuasa, dan dihancurkan pelan-pelan.
Suatu hari Cholil Bisri yang mewakili warga Nadhliyyin di PPP Senayan zaman Orba mengeluh bahwa masyarakat tidak tahu bahwa mereka sudah berusaha keras untuk menyampaikan usulan-usulan kebijakan yang baik buat masyarakat. Tapi suara mereka ditelan oleh gelegar suara partai penguasa. Masyarakat hanya tahu hasil akhir bahwa PPP tidak menyuarakan aspirasi rakyat, bahwa PPP menyetujui kebijakan yang terus menggerus keberpihakan pada rakyat. Sementara partai bersuara super besar, yang menguasai media, dengan mudah saja tunjuk siapa yang harus diwawancara sehingga yang muncul di media adalah suara mereka yang bersuara gurem, dan kebijakan public yang tidak popular itu seolah-olah hasil dari usaha para partai bersuara gurem yang sekali injak sudah hancur tak berbentuk.
Partai-partai menengah kali ini sudah terlebih dulu masuk di Senayan. Sebagiannya sudah pernah terlibat korupsi, hal-hal yang diangggap blunder lainnya.  Mereka sudah berurusan dengan lignkkungan, pekerjaan, dan pengambilan-pengambilan keputusan nyata. Masyarakat diam-diam atau terang-terangan menilai sepak terjang dan prestasi mereka. Mereka tidak mempunyai televise, dan juga tidak punya media cetak yang menggaungkan suara-suara gerilya mereka. Bagaimana mereka bisa survive? Mereka bisa bertahan dengan membuat media. Usaha berikutnya adalah dengan berlegowo untuk berkoalisi dengan partai-partai menengah lain yang punya platform yang sama. Ketiga, tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip kejujuran dan manfaat. Masyarakat tidak senang ditipu dan mengharapkan wakil-wakil mereka di DPR memberikan manfaat bagi mereka.
Maree mare . .

Yayah
Depok, 12 Maret 2012
Untuk Indonesia yang lebih baik




Tidak ada komentar:

Posting Komentar